Perilaku Masyarakat Dari Kooperatif Hingga Tak Kooperatif Terkait Penolakan Exploitasi Biji Timah Di Perairan Babel

 

NEGERI Serumpun Sebalai sebutan lain dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), dengan dua pulau besar yakni Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Kedua pulau ini dikenal sebagai penghasilan biji timah terbesar didunia dan salah satu sebagai sumber income pendapatan negara dari sektor pertambangan.

Begitu pula tata kelola explorasi, exploitasi dan perniagaannya pun diatur oleh negara yang dikuatkan dengan peraturan perundang-undangan, baik yang didasari oleh UUD 45 maupun keputusan Kementerian yang menaunginya.

Di negeriku sendiri yakni Bumi Serumpun Sebalai bercokol Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perusahaaan tambang milik pemerintah Republik Indonesia yang mengelolah Sumber Daya Alam (SDA) bijih/pasir timah, saya mengenal perusahaan plat merah itu dengan sebutan PT Timah Tbk.

Dalam pengelolaan operasional penambangan, negara telah memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Timah untuk melakukan kegiatan explorasi dan explotaisi di darat seluas 331.580 hektar sedangkan dilaut seluas 184.400 hektar.

Namun sayangnya, kegiatan exploitasi penambangan timah di darat saat ini tidak menjadi skala priotas lagi bagi PT Timah, selain dikarenakan cadangannya tidak lagi produktif alasan lainnya yaitu cadangan timah banyak berada dalam kawasan hutan yang dilindungi undang-undang, yakni seperti hutan produksi (HP), hutan lindung (HL) dan hutan lindung pantai (HLP) walaupun cadangan timah dalam IUP nya PT Timah.

Kondisi tersebut barangkali merubah kebijakan perusahaan PT Timah memfokuskan untuk melakukan exploitasi penambangan di cadangan IUP lautnya, tercatat pada tahun 2006 PT Timah membuka kerja sama dengan mitra kerjanya untuk melakukan exploitasi penambangan timah di perairan laut, dengan menggunakan Kapal Isap, dan masyarakat Bangka Belitung mengetahuinya dengan sebutan KIP (Kapal Isap Produksi).

Pada awal beroperasinya KIP di perairan laut Bangka Belitung tidaklah begitu banyak halangan rintangan bagi perusahaan PT Timah bersama mitra kerjanya melakukan exploitasi penambangan laut di IUP nya, dan saat itu masyarakat nelayan kami masih terlihat kooperatif.
Bahkan tak banyak melakukan protes bahkan tuntutan kompensasi atas keberadaan KIP milik mitra PT Timah yang beroperasi di perairan laut Bangka Belitung, dan selain itu kehadiran jumlah KIP Timah saat itu yang beroperasi tidak begitu banyak dengan KIP Timah pada saat sekarang ini.

Implementasi Pasal 33 UUD 1945

Pada dasarnya, dengan hadirnya Pasal 33 UUD 1945 merupakan sebagai asas pemerataan yang artinya hal yang menjadi suatu landasan yang digunakan dalam melaksanakan pembangunan nasional yang diharapkan dapat terwujud bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Kendati demikian saat itu, bukan berarti tidak ada yang peduli dengan masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir pantai atas beraktifitasnya KIP Timah didaerah tangkapan nelayan sebagai tempat sumber mata pencaharian masyarakat nelayan.

Diketahui, saat itu HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) sebagai inisiator yang memperjuangkan agar KIP Timah milik mitranya yang beroperasi diperairan laut Bangka Belitung khususnya didaerah tangkapan nelayan untuk memberikan dana kompensasi sebagai bentuk kepedulian PT Timah dan mitranya memberi bantuan kepada masyarakat nelayan dan pesisir pantai yang terdampak dari beroperasinya KIP Timah saat melakukan exploitasi/penambangan di perairan laut Babel walaupun exploitasi dilakukan berada dalam IUP nya.

Kemudian, terjadi kesepakatan antara pengusaha KIP Timah dengan masyarakat nelayan, dan sejak saat itu sampai saat sekarang terbentuklah panitia kecil yang mengurus dana bantuan sebagai kompensasi dari beroperasinya KIP Timah, dan besar kecilnya nilai kompensasi yang disepakati bersama itu diambil berdasarkan nilai rupiah per kilogram (Rp/kg) dari setiap hasil produksi KIP Timah yang beroperasi didaerah adanya masyarakat nelayan, pesisir atau sekitar yang terdampak.

Panitia kecil itu disebut oleh masyarakat kami ‘Panitia KIP’, yang pengurusnya terdiri tokoh masyarakat, tokoh pemuda, Kades, BPD, LPM, atau orang yang dapat ‘dipercaya/yang amanah’.

Itulah salah satu bentuk implementasi dari UUD 1945 Pasal 33 tentang Kesejahteraan Sosial, walaupun PT Timah mewakili negara selaku pemilik IUP tercantum dalam pasal 33 ayat 3, namun tidak serta perusahaan negara itu mengabaikan pemahaman pada ayat 1 dan ayat 4 pasal 33 UUD 1945.

Dengan adanya pemberian dana kompensasi kepada masyarakat nelayan itu adalah sebagai bentuk implementasi pengamalan Pasal 33 ayat 1 dan ayat 4 UUD 1945, dalam penjelasannya menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, dan Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Kendati pemberian dana kompensasi itu tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan di laut, khususnya didaerah tangkapan nelayan sebagai mata pencaharian mereka, namun kesepakatan bersama antara PT Timah dengan masyarakat nelayan itu yang didasari asas kekeluargaan, dan sedikit memberikan rasa keadilan kepada masyarakat nelayan yang dapat menikmati secara langsung dana bantuan dari kompensasi tersebut dari dampak aktifitas KIP Timah yang beroperasi di perairan laut Bangka Belitung.

Kendati pun kita ketahui bersama hasil pengelolaan sumber daya alam berupa biji/pasir timah untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia, namun tidak kita pungkiri tidak semua rakyat/masyarakat yang menikmati hasilnya, demikian juga halnya dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility) tidak semua menyentuh lapisan masyarakat di Bangka Belitung.

Benang Merah Dan Permasalahannya

Beberapa akhir-akhir ini di tanah kelahiranku Bumi Serumpun Sebalai hampir semua media massa baik cetak,online dan elektronik meramaikan pemberitaan penolakan masyarakat nelayan atas beroperasinya KIP Timah milik mitra PT Timah di perairan laut Matras, Pesaren sekitarnya di Kabupaten Bangka dan perairan laut Sukadamai Toboali di Kabupaten Bangka Selatan.

Permasalahan ini menarik bagi saya selaku anak bangsa untuk memberanikan diri memberikan pendapat dan saran terhadap persoalan yang dihadapi oleh PT Timah selaku perusahaan milik BUMN bersama mitranya dalam pengelolaan exploitasi/penambangan di IUP-lautnya. Sehingga teramati adanya pergeseran perilaku masyarakat kita yang dulu kooperatif dan sekarang cenderung tidak kooperatif atau menolak aktifitas KIP Timah beroperasi di perairan laut di Bangka Belitung.

Dalam pengamatan saya bergesernya perilaku masyarakat kita yang saat ini cenderung tidak kooperatif atau tidak mendukung exploitasi penambangan bijih/pasir timah dilaut dengan menggunakan kapal isap atau yang disebut KIP Timah. Ada sesuatu yang kurang tepat dalam membangun komunikasi dan pendekatan dengan masyarakat kita yang dilakukan oleh perusahaan BUMN ini.

Berdasarkan data statistik nelayan di Bangka Belitung masih dikategorikan masyarakat miskin dengan penghasilan terendah, apalagi dibandingkan penghasilan karyawan dengan golongan terendah di perusahaan PT Timah, sehingga wajar nelayan merasa keberadaan perusahaan BUMN itu belum banyak berbuat dalam membantu meningkatkan pendapatan income dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Kemudian teori di aras masyarakat akar rumput (masyarakat miskin) pendekatan masyarakat dapat dirangkum menjadi tiga daur hidup, yang disebut Tridaya, yaitu:

1. Daur hidup pengembangan sumber daya manusia dalam kelembagaan kelompok orang miskin meliputi: proses penyadaran kritis dan pengembangan kepemimpinan bersama atau kolektif, dilanjutkan dengan mengembangkan perilaku wira usaha sosial agar mampu mengelola usaha bersama atau mikro.

2. Daur hidup pengembangan usaha produktif dalam kelembagaan kelompok orang miskin meliputi: pengaturan ekonomi rumah tangga (ERT) agar mampu menabung bersama dalam kelompok yang akan digunakan untuk modal usaha bersama dalam kegiatan usaha produktif.

3. Daur hidup kelembagaan kelompok orang miskin meliputi: pengelolaan organisasi yang akuntabilitas, kepemimpinan yang partisipatif, pengelolaan keuangan yang transparan, dan pengembangan jejaring yang luas.

Jika teori tersebut pendekatan masyarakat dikaitkan dengan pergeseran perilaku masyarakat kita dalam permasalahan yang dihadapi oleh PT Timah bersama mitranya, maka ada beberapa faktor yang menurut pendapat saya penolakan aktifitas KIP Timah oleh masyarakat, antara lain ;

1. Kurang didukung petugas/pejabat yang komunikatif yang mumpuni dan humanis.

Tidak sedikit masyarakat menilai pejabat BUMN kita yang mendampingi mitranya saat melakukan sosialisasi ditengah masyarakat lebih memposisikan sebagai pejabat negara yang minta dilayani seolah-olah mempunyai kuasa penuh atas pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), sehingga kehadirannya tidak dapat menyerap aspirasi/keinginan masyarakat dan tidak memberikan win-win solution, hal ini dikarenakan pejabat yang ditugaskan kurang komunikatif dan humanis, kecenderungan sosialisasi itu hanya sebagai pemberitahuan saja dan masyarakat dipaksa untuk menerima saja sehingga mengabaikan asas kekeluargaan dan keadilan.

Bahkan disuatu kesempatan terkadang Mitranya terlihat melakukan sosialisasi tanpa didampingi oleh pemilik IUP atau pejabat yang memumpuni. Hal ini disebabkan pejabat perusahaan BUMN yang ditugaskan itu menganggapkan kegiatan sosialisasi itu untuk kepentingan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab mitranya dan tahapan sosialisasi sekedar kegiatan seremonial saja, sehingga tak disadari peran mitra dalam mesosialisasikan rencana exploitasi tanpa didampingi pemilik IUP hasilnya tidak begitu mendapatkan respon yang baik dari masyarakat.

2. Kurang membangun komunikasi yang mengikat hati dan batin masyarakat

PT Timah sebagai perusahaan negara pemegang IUP Timah dilaut seluas 184.400 hektar, sudah memetakan daerah-daerah yang cadangan timah akan digarap dalam 5 tahun kedepan sesuai rencana kerja perusahaan, dan mempelajari/memahami kultur, karakter dan adab masyarakat setempat sehingga mengetahui darimana untuk memasuki pintu hati dan batin masyarakat agar memuluskan misi yang disosialisasikan tanpa ada potensi konflik.

Selain itu diiringi pertumbuhan jumlah penduduk kita, sudah tentu hal ini ikut mempengaruhi paradigma dan merubah mindsite (pola pikir) masyarakat kita yang beragam latar belakang profesi dan pendidikan.

Walaupun mereka berada dalam komunitas masyarakat nelayan, sehingga saat PT Timah bersama mitra mensosialisasikan rencana exploitasi penambangan di perairan laut tidak mudah langsung dapat diterima atau mendapatkan persetujuan dari masyarakat kita pada saat itu.

Hal ini disebabkan dihati masyarakat tidak tertanam hutang budi atas kepedulian dan kebaikan dari perusahaan BUMN, dan dana CSR yang seharusnya diprioritaskan untuk masyarakat yang terdampak aktifitas ekploitasi hanya dinikmati oleh orang atau kelompok memiliki akses ke dalam perusahaan saja.

Seharusnya pendekatan masyarakat seyogyanya dapat dilakukan jauh-jauh hari sebelum pada tahapan sosialisasi. Pendekatan yang dimaksud mengikat hati dan batin masyarakat dengan mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakat nelayan dalam mendorongan kesejahteraan mereka.

Selain itu melalui program-program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti hal kegiatan sosial kemasyarakatan seperti pemberian bantuan kesehatan, sandang pangan, alat tangkap nelayan, membangun tambatan perahu dan lain-lain sebagainya, sehingga ikatan hati dan batin sudah terbangun terlebih dahulu sebelum dilakukan sosialisasi, sehingga tidak diibaratkan seperti peribahasa “ketika mau buang hajat baru mencari tempatnya”.

3. Panitia KIP yang tidak amanah

Dana kompensasi yang disepakati bersama dari hasil produksi Timah oleh KIP Timah yang diterima oleh panitia tidak sedikit bahkan selama sebulan beroperasi panitia KIP bisa menerima dana sampai milyaran rupiah.

Dengan besar dana yang diterima oleh pengurus panitia KIP, bukan tidak mungkin besarnya dana yang dikelola itu melemahkan iman seseeorang sehingga mendorong adanya perilaku koruptif oknum pengurus yang terlibat dalam panitia KIP untuk merekayasa laporan keuangan yang tidak transparan dalam penggunaannya.

Hal.ini sehingga tak heran sejumlah oknum pengurus panitia KIP tidak mau berganti posisi sebagai masyarakat yang menerima bantuan kompensasi ketika masyarakat meminta dilakukan reposisi kepengurusan panitia KIP.

Ketidak transparanan oknum panitia KIP dalam mengelola dana kompensasi dari hasil produksi KIP Timah selama ini menimbulkan ketidak percayaan masyarakat, dan hal ini salah satu faktor yang menjadi melatarbelakangi alasan tersirat masyarakat nelayan menolak beroperasi KIP Timah di wilayah perairan laut Bangka Belitung.

Bahkan sempat terdengar ke publik oknum pejabat aparatur desa yang terlibat dalam panitia KIP yang mengelola dana kompensasi tersebut membawa kabur atau menggelapkan uang dana kompensasi dari pengusaha KIP Timah mitra PT Timah.

Pada dasarnya kekuatan media sosial dengan kajian dalam sudut pandang hukum, diibartkan pisau bermata dua. Artinya jika membahas suatu permasalahan pasti adanya suatu kemanfaatan yang dapat diperoleh oleh masyarakat Bangka Blitung tetapi jika hal tersebut tidak digunakan dengan bijak maka dapat menghancurkan kesejahteraan masyarakat.

Berkaitan dengan itu pada kesimpulannya suatu program pemerintahan tidak akan berjalan dengan lacar tanpa adanya keikutsertaan dari masyarakat.

Maka, pada kasus ini seharusnya PT Timah bisa memperoleh kepercayaan dari para nelayan dengan cara mendengarkan aspirasi pada saat sebelum pra sosialisasi dari mereka, dan selanjutnya di realisasikan agar kerjasama antara nelayan dan PT Timah dapat berjalan dengan lancar. Walaupun IUP sudah dilindungi oleh hukum positif namun hak-hak masyarakatlah yang patut dipertimbangkan.

Pada dasarnya, jika dikaitkan dengan Hukum Pertambangan Nasional untuk sebesar-besarnya mweujudkan kewajiban negara yang salah satunya yaitu untuk melindungi dan mejamin segala hak-hak rakyat.

Selanjutnya, perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan memiliki tanggung jawab secara sosial sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 4- tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas terutama dalam ayat (2) disebutkan bahwa kewajiban Perseroan dalam pelaksanaannya tetap harus memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

Yang masih menjadi permasalahan hanya perihal perbedan pemahaman sudut pandang dan kepentingannya antara masyarakat dengan pihak PT Timah. Maka, sangat diperlukannya keselarasan, harmonisasi dan sosialisasi yang harus dilihat secara kompromi dan kasusitis sehingga dapat meluruskan dan menciptakan solusi terbaik bagi para pihak.

Sebelum saya mengakhiri penulisan opini ini izin saya memohon maaf jika pendapat saya tidak berkenan dalam menanggapi pemberitaan masyarakat nelayan menolak KIP milik mitra PT Timah beroperasi di salah satu perairan laut Bangka Belitung.

Sejatinya tulisan ini tidak sedikitpun bermaksud menyakiti masyarakat Babel dan Perusahaan PT Timah, dan sebagai generasi muda yang dilahirkan di negeri Serumpun Sebalai, tulisan ini saya sampaikan sebagai masukan untuk perbaikan kedepan agar keharmonisan masyarakat Babel dengan perusahaan yang mengelola dan mengexploitasi kekayaan sumber daya alam yang ada di negeri Serumpun Sebalai tanah kelahiranku dapat seiring dan sejalan dalam mensejahterakan rakyat Indonesia khususnya masyarakat Bangka Belitung.

Tidak ada gading yang tak retak, demikian juga tulisan ini jauh dari kata sempurna namun inilah kepedulianku kepada negeri Serumpun Sebalai dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terimakasih kepada saya haturkan kepada pegiat persen/wartawan yang telah memuatkan tulisan ini dimedianya.

Penulis : Bientang Maharany Khairunnisa
Mahasiswa Semester Akhir
Fakultas Hukum – Universitas Sriwijaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *